Kamis, 12 April 2012

Perkembangan Obat Herbal di Indonesia

Apakah perbedaan antara rempah-rempah dan biofarmaka? 
Biofarmaka adalah sediaan dari bahan alam (nabati maupun hewani) yang mempunyai efek farmakologis, untuk makanan/minuman, suplemen makanan, kosmetik, maupun obat. Rempah-rempah termasuk dalam biofarmaka.

Apa perbedaan antara rempah dan bahan obat herbal?

Sebagai bahan rempah/pangan, tidak dituntut pemenuhan standar/persyaratan tertentu, khususnya menyangkut persyaratan instrinsik. Sebagai obat herbal, dituntut pemenuhan standar/persyaratan tertentu khususnya menyangkut faktor instrinsik. Contohnya, Badan POM telah melakukan sandingan terhadap sekitar 25 hasil penelitian mengenai daun salam dari tempat yang berbeda-beda. Ternyata kandungan senyawa kimianya berbeda-beda. Untuk dapat dijadikan bahan obat herbal, seharusnya tidak boleh ada perbedaan.

Mengapa masih banyak masyarakat maupun pelayanan kesehatan enggan menggunakan obat asli Indonesia. Bila obat herbal tersebut berasal dari luar negeri mereka mudah mengkonsumsinya?
Saya kira tidak, hanya masyarakat tertentu yang demikian. Agar obat herbal dapat diterima masyarakat luas baik dalam negeri maupun luar negeri dan dapat dipakai di pelayanan kesehatan, mau tidak mau obat herbal tersebut harus didukung dengan penelitian. Mestinya masyarakat paham bahwa obat tradisional bermanfaat bagi kesehatan mereka dan mereka harus dapat memilih bahwa suatu produk itu terdaftar atau teregistrasi di Badan POM.
Di samping itu pihak industri juga harus mengembangkan sistem mutu. Misalnya, pembuatan obat tradisional yang baik, mengikuti kaidah-kaidah internasional sehingga mutunya akan lebih terjamin. Mereka juga harus mengembangan penelitian kalau ingin memiliki produk yang kuat.

Sebenarnya apa kriteria obat herbal itu?

Ada tiga kriteria untuk obat herbal yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Ketiga kriteria ini nanti masing-masing akan diberi logo khusus. Jamu adalah sediaan obat herbal Indonesia yang keamanan dan khasiatnya telah diketahui secara turun temurun berdasarkan pengalaman (empiris). Bentuk sediaannya berupa serbuk, pil, cairan, tapel, boreh dan sejenisnya. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat herbal Indonesia yang dibuat dari bahan berupa ekstrak atau serbuk yang telah distandarisasi. Status keamanan dan khasiatnya telah dibuktikan secara ilmiah yaitu uji pra-klinik (menggunakan hewan percobaan). Bentuk sediaan biasanya berupa tablet atau kapsul.

Fitomarmaka adalah sediaan obat herbal Indonesia yang sudah dilakukan uji klinik secara lengkap. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena ada manfaatnya jelas dengan pembuktian.

Di Indonesia sebagian besar produk obat herbal masih berupa jamu, sehingga baru sampai untuk pencegahan, belum bisa mengklaim sebagai obat. Mengapa?

Ya, karena bila mengklaim sebagai obat harus jelas pembuktiannya. Namun demikian, jamu bisa juga diklaim sebagai jamu asal ada keterangan 'secara tradisional dan turun temurun bisa dipakai untuk obat misalnya menurunkan demam'. Bagi obat herbal yang sudah dilakukan uji pra-klinik juga bisa mencantumkan bahwa obat tersebut sudah sampai pada uji pra-klinik.

Di Indonesia sudah berapa jenis fitofarmaka yang terdaftar dan apa kendalanya?

Baru ada empat. antara lain: untuk obat tekanan darah tinggi, obat rematik, diare. Kendalanya disamping biaya, juga harus ada kemauan yang kuat dari pihak industri untuk melakukan research and development. Biaya untuk riset bila dilakukan pemerintah bisa sampai Rp 300 juta per jenis. Sedangkan, kalau dilakukan swasta bisa di atas Rp 500 juta, karena pelaksana uji klinis akan meminta biaya jasa, berbeda halnya bila uji klinis dilakukan di pemerintah, jasa pelaksana tidak dibayar. Kalau teknologi bisa beli mesin yang bagus dan SDM sudah banyak yang terlatih.

Apa yang dilakukan Badan POM untuk mengembangkan obat herbal?

Dalam dua tahun ini (2002-2004) ada sembilan tanaman unggulan yang
dilakukan uji klinis (mengkudu, salam, jambu biji, temulawak, kunyit, cabe jawa, sambiloto, jahe merah, dan jati belanda) oleh Badan POM bekerja sama dengan perguruan tinggi. Ini diharapkan sebagai dorongan bagi pihak industri farmasi. nri

Drs Ruslan Aspan MM
(Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional Kosmetika dan Produk Komplemen Badan POM)
diambil dari www.republikaonline.com  tanggal 16 September 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar