Apakah perbedaan antara rempah-rempah dan biofarmaka?
Biofarmaka adalah sediaan dari bahan alam (nabati maupun hewani) yang
mempunyai efek farmakologis, untuk makanan/minuman, suplemen makanan,
kosmetik, maupun obat. Rempah-rempah termasuk dalam biofarmaka.
Apa perbedaan antara rempah dan bahan obat herbal?
Sebagai
bahan rempah/pangan, tidak dituntut pemenuhan standar/persyaratan
tertentu, khususnya menyangkut persyaratan instrinsik. Sebagai obat
herbal, dituntut pemenuhan standar/persyaratan tertentu khususnya
menyangkut faktor instrinsik. Contohnya, Badan POM telah melakukan
sandingan terhadap sekitar 25 hasil penelitian mengenai daun salam dari
tempat yang berbeda-beda. Ternyata kandungan senyawa kimianya
berbeda-beda. Untuk dapat dijadikan bahan obat herbal, seharusnya tidak
boleh ada perbedaan.
Mengapa masih banyak masyarakat maupun
pelayanan kesehatan enggan menggunakan obat asli Indonesia. Bila obat
herbal tersebut berasal dari luar negeri mereka mudah mengkonsumsinya?
Saya
kira tidak, hanya masyarakat tertentu yang demikian. Agar obat herbal
dapat diterima masyarakat luas baik dalam negeri maupun luar negeri dan
dapat dipakai di pelayanan kesehatan, mau tidak mau obat herbal tersebut
harus didukung dengan penelitian. Mestinya masyarakat paham bahwa obat
tradisional bermanfaat bagi kesehatan mereka dan mereka harus dapat
memilih bahwa suatu produk itu terdaftar atau teregistrasi di Badan POM.
Di samping itu pihak industri juga harus mengembangkan sistem mutu.
Misalnya, pembuatan obat tradisional yang baik, mengikuti kaidah-kaidah
internasional sehingga mutunya akan lebih terjamin. Mereka juga harus
mengembangan penelitian kalau ingin memiliki produk yang kuat.
Sebenarnya apa kriteria obat herbal itu?
Ada
tiga kriteria untuk obat herbal yaitu jamu, obat herbal terstandar dan
fitofarmaka. Ketiga kriteria ini nanti masing-masing akan diberi logo
khusus. Jamu adalah sediaan obat herbal Indonesia yang keamanan dan
khasiatnya telah diketahui secara turun temurun berdasarkan pengalaman
(empiris). Bentuk sediaannya berupa serbuk, pil, cairan, tapel, boreh
dan sejenisnya. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat herbal
Indonesia yang dibuat dari bahan berupa ekstrak atau serbuk yang telah
distandarisasi. Status keamanan dan khasiatnya telah dibuktikan secara
ilmiah yaitu uji pra-klinik (menggunakan hewan percobaan). Bentuk
sediaan biasanya berupa tablet atau kapsul.
Fitomarmaka adalah
sediaan obat herbal Indonesia yang sudah dilakukan uji klinik secara
lengkap. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis
untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat
juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena ada manfaatnya
jelas dengan pembuktian.
Di Indonesia sebagian besar produk
obat herbal masih berupa jamu, sehingga baru sampai untuk pencegahan,
belum bisa mengklaim sebagai obat. Mengapa?
Ya, karena bila
mengklaim sebagai obat harus jelas pembuktiannya. Namun demikian, jamu
bisa juga diklaim sebagai jamu asal ada keterangan 'secara tradisional
dan turun temurun bisa dipakai untuk obat misalnya menurunkan demam'.
Bagi obat herbal yang sudah dilakukan uji pra-klinik juga bisa
mencantumkan bahwa obat tersebut sudah sampai pada uji pra-klinik.
Di Indonesia sudah berapa jenis fitofarmaka yang terdaftar dan apa kendalanya?
Baru
ada empat. antara lain: untuk obat tekanan darah tinggi, obat rematik,
diare. Kendalanya disamping biaya, juga harus ada kemauan yang kuat dari
pihak industri untuk melakukan research and development. Biaya untuk
riset bila dilakukan pemerintah bisa sampai Rp 300 juta per jenis.
Sedangkan, kalau dilakukan swasta bisa di atas Rp 500 juta, karena
pelaksana uji klinis akan meminta biaya jasa, berbeda halnya bila uji
klinis dilakukan di pemerintah, jasa pelaksana tidak dibayar. Kalau
teknologi bisa beli mesin yang bagus dan SDM sudah banyak yang terlatih.
Apa yang dilakukan Badan POM untuk mengembangkan obat herbal?
Dalam dua tahun ini (2002-2004) ada sembilan tanaman unggulan yang
dilakukan
uji klinis (mengkudu, salam, jambu biji, temulawak, kunyit, cabe jawa,
sambiloto, jahe merah, dan jati belanda) oleh Badan POM bekerja sama
dengan perguruan tinggi. Ini diharapkan sebagai dorongan bagi pihak
industri farmasi. nri
Drs Ruslan Aspan MM
(Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional Kosmetika dan Produk Komplemen Badan POM)
diambil dari www.republikaonline.com tanggal 16 September 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar